Oke, jadi
melanjutkan post sebelumnya, saya akan memberikan beberapa update tentang apa saja yang saya alami di Bandung selama masa cuti
saya. Quite brilliant, I hope.
Pertama-tama,
saat saya pesan tiket. Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, saya baru
saja meminta cuti pada hari rabu sore;lebih tepatnya rabu maghrib. Saya minta
cuti pada Pak Fauzi, yang merupakan karyawan senior di kantor. Beliau adalah
orang yang memegang jalannya day-to-day
operations kantor. Saya ungkapkan alasan untuk mengambil cuti – untuk
refreshing. Pak Fauzi untungnya tidak antipati terhadap ide tersebut, karena
saya sudah melihat saat karyawan yang lain gagal mendapat cutinya – terutama para
surveyor.
Segera setelah
mendapat izin cuti,saya pun memesan tiket untuk ke Bandung. Bagi yang belum
tahu, tiket ke Bandung pada saat ini itu SANGAT MAHAL. Dibandingkan
dengan saat saya kuliah dulu, harga tiket travel sudah hampir naik dua kali
lipat. Tiket kereta pun sama saja. Jika saya ingin mendapatkan dua
tiket kereta termurah misalnya, saya perlu merogoh kocek sebesar Rp 150.000,-. Yup, itu sudah cukup untuk
uang jatah makan dua atau tiga hari.
Karenanya, saya memesan tiket promo dari Baraya Travel. Untungnya travel
tersebut sangat dekat dari kantor saya. Namun, kelemahan dari sistem tiket promo dari Baraya Travel adalah jamnya
yang sudah ditentukan. Untuk hari Minggu misalnya, tiket yang tersedia hanya
ada pada pukul enam pagi sampai pukul satu siang. Begitu juga pada hari Jumat,
yang hanya tersedia pada jadwal yang sama.
Setelah memesan
tiket, tentunya yang harus dipikirkan adalah tujuan tempat berlibur. And you know what? I totally do not know
which places in Bandung that are supposed to be the place for relaxing and
holiday. No idea whatsoever. Namun, apa mau dikata. Tiket sudah dibeli. Cuti
sudah diambil. So off we go.
Setelah menyelesaikan pekerjaan untuk hari Kamis, saya bergegas ke Baraya Travel pukul lima kurang lima belas menit. Saat saya tiba di sana, tidak ada satu pun pegawai Baraya Travel yang sedang stand by. Tidak ada jejaknya sama sekali. Bahkan, tak lama setelah saya tiba, ada seorang gadis dan ibu-ibu datang dan bertanya di mana para pegawai Baraya Travel berada. Si Gadis ini rupanya belum bayar tiketnya dan baru booking.
Beberapa menit
kemudian, pegawai Baraya Travel ini datang dengan napas tertahan dan
terengah-engah. Saya tidak tanya kenapa dia terengah-engah, saya hanya bilang
kalau si Gadis ini belum bayar tiketnya. Si Pegawai pun langsung mengurus
pembayaran tiketnya dan mengatakan kalau mobil yang akan membawa kami ke
Bandung sudah ada, tetapi masih memutar. Sebentar kemudian, mobilnya datang dan
semua penumpang memasukkan barang bawaan serta naik ke mobil tersebut.
Kami pun
berangkat ke Bandung. Salah satu pegawai Baraya Travel sudah mewanti-wanti
kalau di Tol Lingkar Luar (sampai daerah Pondok Labu) dan sampai Cikarang Utama
akan macet. Rupanya, perkiraannya tepat. Mobil harus bergerak perlahan dan
terhambat beberapa kali melawan kemacetan. Bahkan, waktu sudah menunjukkan
pukul tujuh malam saat mobil tersebut tiba di Rest Area KM 57, tempat peristirahatan yang biasa digunakan Baraya
Travel. Saya sendiri tidak begitu memperhatikan kemacetan yang ada
karena lebih banyak tidur sepanjang perjalanan.
Setelah tiba di
pom bensin rest
area, Sang Supir mengatakan
waktu istirahat berlangsung selama sepuluh menit. Ia kemudian mematikan
mesinnya, mungkin refleks karena ingin isi bensin. Seharusnya ia tidak pelu melakukannya dan ia langsung menyesali tindakannya tersebut; rupanya para pegawai Baraya
Travel menghilang sebelum keberangkatan karena mereka harus membantu mendorong mobil
tersebut agar menyala.
Sang Supir pun
menyahut pada sesama pegawai Baraya Travel lainnya yang sedang
beristirahat di rest area untuk membantu mendorong. Para teman seperjuangannya pun mulai
mendorong mobil dari pom
bensin. Sang Supir menaruh persneling di gigi dua, tapi mobil hanya
terantuk-antuk tanpa mau menyala. Percobaan pertama yang gagal. Para
pegawai Baraya Travel tidak menyerah, dan mencoba lagi untuk mendorong. Sekali
lagi, mobil hanya terbatuk-batuk tanpa suara mesin yang menderu. Bahkan elektrik mobil tampak tak menyala.
Setelah gagal
untuk ketiga kalinya, saya akhirnya ikut turun dari mobil. Niatnya sih
ingin membantu, tetapi saat saya lihat, sudah ada enam orang di belakang mobil
tersebut. Salah seorang dari mereka yang badannya paling kecil akhirnya berganti
posisi untuk pegang kemudi dengan Sang Supir. Mereka mendorong mobilnya sekali
lagi, dan akhirnya berhasil membuat suara mesin mobil itu menderu. Mobil itu juga
menderu-derukan tarikannya saat supirnya menekan gas beberapa kali untuk
memanaskan mesin. Saya curiga jangan-jangan mobil itu rada ngambek karena saya
belum turun.
Kemudian, ada
beberapa penumpang lain yang masuk ke mobil tempat saya berada. Saya bertanya
kepada salah seorang penumpang yang berada di samping saya, darimana mereka
datang. Penumpang tersebut menjawab Ia berangkat dari Melawai dengan tujuan ke
Pasteur. Mereka rupanya pindah dari mobil travel mereka karena AC di mobil
tersebut tidak bekerja. Saya membayangkan berpanas-panasan (meskipun mobil
mereka juga hanya berisi enam orang seperti mobil travel yang saya naiki)
sepanjang perjalanan yang macet dari Jakarta. Mendengarnya saja saya sudah
merasa gerah.
Perjalanan ke
Bandung tidak mengalami masalah lain lagi setelahnya. Saya pun sampai di pool Baraya Travel Surapati pada pukul
8.30 malam. Saya menghubungi adik saya, Luthfi, untuk menjemput saya dari Surapati
ke tempat nenek saya di Jalan Lembong. Sesampainya saya di Lembong, saya pun
menghabiskan waktu saya sampai malam – benar-benar pengalaman yang unik.
Setelah saya sampai di Bandung, timbul lagi pertanyaan: Apa yang ingin saya lakukan di sini? Saya memang sudah menyiapkan beberapa persiapan dan jadwal bertemu teman untuk keesokan harinya. Tapi ya segitu saja. Namun, seperti yang sudah saya alami, biasanya yang saya rencanakan itu lebih sering gagal secara spektakuler.
Tidak percaya? Tunggu post berikutnya :D
No comments:
Post a Comment
Silahkan tuliskan pendapat anda....bebas kok