Tuesday, June 7, 2016

Arti Sesungguhnya Menjadi Seorang Muslim : Part 1

Halo, kawan-kawan! (terutama kawan-kawan FLP-19 yang saya harap sedang membaca tulisan ini)

Demi memenuhi tantangan #20DaysWritingChallenge yang Nia adakan, saya juga ingin menyetor tulisan untuk hari ini (walaupun sudah terlambat beberapa saat sih, hehe).

Saya ingin menyentuh sebuah aspek yang mungkin telah ada di banyak pikiran kita masing-masing. Apa sih sesungguhnya, menjadi seorang Muslim itu?

Seperti arti harfiahnya, Muslim artinya adalah seseorang yang menyerahkan dirinya kepada Allah SWT. Menyerahkan hidup untuk beribadah kepada Allah, sebagai dzat yang hanya patut untuk disembah.

Nah, sekarang yang perlu menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kita menyerahkan diri kita dalam hidup kita sesungguhnya? Sebagian orang akan berkata, sederhananya, limpahkan waktu dan tenaga dalam hidup untuk beribadah dan mencari ridho Allah. Lepaskan segala pekerjaan dan pikiran saat waktu salat tiba. Sisihkan sebagian dari harta milik kita untuk zakat dan sedekah. Lakukan segala jenis ibadah lain yang memang diwajibkan maupun yang disunahkan.

Sederhananya, kita hanya perlu menggunakan sebagian (atau mungkin sebagian besar, tergantung pandangan setiap orang) waktu kita untuk melakukan perintah Allah SWT.

Salah satu perintahnya adalah tawakal. Tawakal, menurut arti harfiahnya adalah menyerahkan atau mewakilkan. Arti yang lebih kontekstual dari tawakal adalah, menyerahkan diri sepenuhnya kepada keputusan Allah setelah kita melakukan semua usaha terbaik kita dalam menghadapi suatu masalah. 

Kata kuncinya adalah : setelah. Setelah semua usaha dilakukan; setelah semua cara yang terpikirkan dilakukan; setelah kita memberikan semuanya dengan usaha terbaik yang kita bisa.

Hanya saja, terkadang batasan setelah ini tampak bias. Misalkan saja, ada seseorang yang sedang menghadapi masalah dan setelah melakukan usaha dalam menyelesaikannya, ia kemudian bertawakal. Apakah benar usahanya itu sudah maksimal? Bagaimana jika seandainya "usaha" yang ia lakukan ini masih dianggap belum maksimal dari kacamata orang lain? Bagaimana jika ternyata sebenarnya masih ada yang bisa dilakukan, jika orang tersebut mau melihat lebih jauh terhadap dirinya sendiri?     

Lebih jauh lagi: sebenarnya, usaha sejauh apakah yang benar-benar bisa kita nilai sebagai "usaha maksimal" seseorang?


Terkadang, seseorang memiliki keadaan-keadaan tertentu yang menyebabkan "usaha" terbaiknya mungkin tidak semaksimal yang orang lain anggap ia mampu. Terkadang, orang lain tidak dapat melihat sepenuhnya "usaha" yang orang tersebut sebenarnya lakukan. Terkadang, kita hanya melihat dan menilai apa yang kita lihat. 


Satu yang mungkin, yang sepenuhnya tahu seberapa maksimal usaha yang seseorang lakukan hanya dapat dimengerti orang tersebut dan Allah saja.

Kemudian akan ada pertanyaan lagi : bagaimana menentukan usaha yang dilakukan sudah maksimal, dan kita dapat mulai bertawakal?

Nah, untuk bagian itu akan saya tuliskan di bagian berikutnya. Semoga saja saya tetap istiqomah dalam menulis tulisan ini sehingga tidak tertinggal menggantung begitu saja.

See you in Part 2!


No comments:

Post a Comment

Silahkan tuliskan pendapat anda....bebas kok